TRUE EXPERIENCE IN FASTING ABROAD

Words by Aista Wisnu Putra FL003 Semarang

ABROAD – Pada Bulan Ramadhan tahun ini tiga sahabat kita dari XL Future Leader Batch 3 yakni Doni, Diza dan Akbar menjalani bulan puasa di luar negeri. Tentu banyak hal-hal menarik yang berbeda dengan berpuasa di Indonesia. Mari kita intip lebih dalam pengalaman mereka berpuasa di negeri seberang.

Doni sedang berada di negeri Jerman dan berencana berjalan jalan keliling Eropa untuk bulan ini dengan target setiap pekan mengunjungi tempat baru. Jadi Doni sudah singgah di beberapa kota dan negara Eropa seperti Milan, Roma, Vatikan, dan Wina serta berencana ke Bratislava (Slowakia), Budapest (Hongaria), dan Polandia. Doni bercerita bahwa puasa di Jerman khususnya lumayan menantang, karena waktu sahur jam 03.00 Pagi dan buka jam 21.30. Sekitar sembilan belas jam lebih Doni berpuasa. Hal ini lebih berat dengan di Indonesia yang hanya sekitar 13 Jam. Malamnya Doni sering tidak tidur tetapi untuk mencari pengalaman baru.

Mengenai makanan tidak ada masalah besar kata Doni. Banyak makanan halal, tetapi masalah rasa tetap ada karena kebanyakan makanan eropa adalah semacam roti tanpa bumbu semeriah di Indonesia. Doni juga rindu dengan suasana makan bersama keluarga yang penuh dengan makanan Indonesia seperti nasi. opor, ayam bacem, dan sebagainya. Pesan doni untuk yang akan berpuasa di luar negeri, harus mempersiapkan niat dan fisik karena berpuasa di luar negeri lebih berat jika tidak kuat berpuasa tidak apa-apa untuk mengganti puasa di selain Ramadhan karena secara syariat diperbolehkan bagi yang bepergian jauh untuk tidak puasa.

Hampir sama dengan Doni, Akbar juga berada di Jerman dalam rangka Tridem Program Research, selama dua minggu pertama. Akbar tinggal di Freiburg Im Briesgau sebuah kota di selatan, kurang lebih 20 menit dari Basel. Puasa dijalani akbar selama kurang lebih Sembilan belas jam. Akbar paling rindu masakan Indonesia, karena kebanyakan makanan disana berupa Roti atau salad (most of the people there are vegetarian). Meskipun kata orang “German breads are the best in the world”, tapi kurang cocok untuk lidah Akbar yang besar di Makassar, jadi kalau ingin makan daging, Akbar datang ke restoran Vietnam atau Turki yang bercap halal. Saat buka puasa dan salat jamaah harus mencari masjid yang jarang di Freiburg, sehingga Akbar biasa buka Di Islamic Centre dengan jarak tempuh 20 menit.

Kebudayaan di sana sangat membuat Akbar kagum, yakni mindset orang-orang disini itu open banget, budayanya sangat teratur. Mulai dari urusan makanan sampai transportasi sudah well-managed. Jadi orang Jerman akan menghormati kita jika kita bilang sebagai muslim yang sedang berpuasa. Ada fun fact juga yakni tidak semua orang Jerman tepat waktu, batasnya 15 menit kalau 30 menit sudah dianggap impolite. Orang Jerman itu cold outside and warm inside, mereka kelihatannya sombong, tapi sebenarnya mereka sangat welcoming and friendly. Pesan dari Akbar jangan lupa bawa kecap, sambal ulek, abon, mie instan kalau berpuasa diluar. Saat sahur harus bangun jam 1 atau tidak tidur setelah tarawih, karena salat isyanya jam 12 malam.

Berbeda dengan Diza yang berpuasa di Kota Seoul, dengan lama puasa 16 jam 40 menit. Diza ada di Korea Selatan karena mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi. Pengalaman menarik bagi Diza adalah saat pergi ke masjid kecil terdekat yang terletak di daerah Ansan dengan jarak tempuh minimal 1 jam dari kampus berbeda dengan rumah Diza yang hanya berjarak 1,5 meter dari masjid. Saat berbuka puasa di masjid ternyata sangat ramai! Tidak hanya orang Indonesia namun juga orang dari berbagai belahan dunia lain seperti Banglades, Pakistan, Malaysia bahkan orang asli Korea dengan jumlah total sekitar 250 orang. Untuk makanan yang disediakan beragam dan berubah setiap hari. Bagi Diza hal ini menarik karena selain merupakan pengalaman pertama berbuka puasa di negara lain, Diza menyadari persaudaraan antar umat beragama sangatlah indah dan mendamaikan.

Kesenangan dalam menjalani Ramadan kali ini bagi DIza adalah dapat berbagi pengetahuan dan pengalaman keislaman dengan muslim dari negara lain yang tinggal satu asrama dengan dia, sehingga dia tidak merasa sendiri. Selain itu, karena posisi Diza sebagai minoritas, Diza menjadi lebih faham makna toleransi yang sebenarnya. Untuk dukanya, Diza kangen dengan masakan ibu dan tidak bisa ikut buka puasa bersama XLFL. Pesan dari Diza, bagi yang menjalani Ramadan di luar negeri, jalani dengan ikhlas walau dengan kondisi yang berbeda dari Indonesia, just believe that it’s all worth it!